Selasa, 06 November 2018

ARSITEKTUR KOLONIAL : LAWANG SEWU


TIPOLOGI BANGUNAN
Arsitektur Kolonial

Hasil gambar untuk gunadarma


NABIILAH DHIYA U.
2TB02
24317331








FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017







ARSITEKTUR KOLONIAL

Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibangun di seluruh Nusantara yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar bangunan era kolonial yang lebih baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatera, yang secara ekonomi dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda. Akibatnya, lebih banyak bangunan kolonial yang bertahan masih terdapat di kedua pulau tersebut. Banyak benteng dan gudang era VOC lama tersebar di seluruh Nusantara, terutama di sekitar Kepulauan Maluku dan Sulawesi.
Arsitektur awal
Setibanya di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari pengetahuan dan keahlian dari negara asal. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia, kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan istana utama. Selama periode awal kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama diperintah oleh VOC, yang terutama memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan sebagai ekshibisi bergengsi.
Salah satu permukiman Belanda besar yang pertama adalah Batavia (Jakarta saat ini), yang pada abad ke-17 dan ke-18 adalah kota batu bata dan pertukangan batu berbenteng yang dibangun di atas dataran rendah.
Permukiman Belanda pada abad ke-17 umumnya intra-muros, dengan pertahanan bertembok untuk melindungi mereka dari serangan oleh rival perdagangan Eropa lainnya dan pemberontakan penduduk pribumi. Benteng itu merupakan pangkalan militer dan pusat perdagangan dan pemerintahan.
Kota ini ditata ke dalam sebuah kisi-kisi dengan blok-blok yang dibagi oleh kanal-kanal, lengkap dengan sebuah Balai Kota dan Gereja-gereja, seperti setiap kota Belanda lainnya pada saat itu. Rumah-rumah di Batavia digambarkan "cukup tinggi dengan fasad sempit dan dinding berplester disisipi dengan jendela sengkang yang dilengkapi anyaman rotan untuk ventilasi". Dan seperti di Belanda, mereka sebagian besar merupakan rumah bertingkat dengan halaman kecil.
Selama hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa mereka dengan iklim tropis. Di Batavia, misalnya, mereka membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh rumah baris berjendela kecil dan berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran Tionghoa-Belanda.
Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan untuk limbah berbahaya dan kotoran dan tempat berkembang biak yang ideal untuk nyamuk anopheles, dengan malaria dan [disentri]] menyebar ke seluruh ibu kota kolonial Hindia Belanda. Dan pada paruh kedua abad ke-17, penduduk di dalam Batavia bertembok mulai membangun properti dan vila luar kota yang besar sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang bertahan adalah bekas rumah besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.

KARAKTERISTIK ARSITEKTUR
Pembangunan Lawang Sewu oleh Hindia Belanda berlangsung sepanjang 1904-1907 untuk Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Administrasi Kereta Api - NIS). NIS menunjuk Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari Amsterdam sebagai arsiteknya. 

Pembangunannya dilakukan dalam empat tahap. Satu tahap satu gedung. Gedung yang pertama dibangun adalah bagian belakang, pada 1904, sebagai tempat percetakan tiket kereta api. Gedung berikutnya adalah gedung utama, gedung dengan kaca patri indah, pada 1905-1907, yang jadi ruang direksi PT Kereta Api.
Kompleks bangunan ini dikenal masyarakat dengan sebutan “Lawang Sewu” atau pintu seribu karena jumlah pintu dan jendelanya banyak, sehingga disebut “sewu” (seribu, bahasa Jawa untuk menyebut sesuatu yang banyak sekali). Sedangkan jumlah persisnya 928 pintu dan jendela. 

Hasil gambar untuk lawang sewu



Banyaknya jumlah pintu dan jendela tak lepas dari iklim Indonesia yang tropis, agar sirkulasi udara lancar. Gedung ini juga punya koneksi antarruang dengan pertimbangan keamanan.

Bangunan utama Lawang Sewu terdiri atas tiga lantai yang memiliki dua sayap membentang ke bagian kanan dan kiri. Saat memasuki bangunan utama, kita akan menemukan tangga besar menuju lantai dua. Diantara tangga terdapat kaca besar yang menggambarkan dua wanita muda Belanda. Pada bangunan ini terlihat jelas bahwa struktur bangunan, pintu dan jendela menggunakan gaya arsitektur Belanda.

Hasil gambar untuk lawang sewu

Arsitektur Lawang Sewu disesuaikan dengan kondisi cuaca di Indonesia yang selalu disinari matahari. Agar lantai selalu dingin, dibuatlah lorong bawah tanah yang digenangi air dan dilengkapi dengan lorong-lorong yang berfungsi sebagai ventilasi pada setiap ruangan di atasnya. Desain atap dan langit-langit dibuat dengan perencanaan yang baik supaya dapat menyirkulasi udara panas keluar melalui ventilasi.

Lawang Sewu juga memiliki ruang bawah tanah yang digunakan sebagai penjara pada zaman penjajahan Jepang. Penjaranya sendiri terdiri dari dua macam, yaitu penjara duduk dan penjara berdiri. Penjara duduk memiliki tinggi hanya 1 meter. Sedangkan penjara berdiri sangat sempit dan hanya bisa diisi oleh satu orang saja.
Pada awal 2012 bangunan utama Lawang Sewu sudah selesai direnovasi dan bangunan di belakangnya kini dijadikan museum kecil untuk menceritakan sejarah NIS.

Satu lokasi favorit berfoto saat ke Lawang Sewu adalah dinding kaca patri berukuran tinggi lebih dari 2 meter. 


Kaca yang terbagi menjadi empat panel besar ini mencerminkan cerita eksploitasi besar-besaran hasil alam Nusantara. Flora dan fauna kita diangkut kereta dan dikumpulkan di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa sebelum diperdagangkan di dunia, untuk memperkaya Belanda dan keluarga kerajaannya di bawah perlindungan Dewi Fortuna.

Detailnya seperti berikut: Di panel tengah-bawah berjajar Dewi Fortuna, si dewi keberuntungan yang berbaju merah, roda bersayap lambang kereta api, dan Dewi Sri, dewi kemakmuran Suku Jawa. Panel di atasnya adalah tumbuhan dan hewan yang menggambarkan Nusantara sebagai negeri kaya akan hasil bumi berikut simbol kota-kota dagang Batavia, Surabaya, dan Semarang.

Simbol kota-kota dagang Belanda, yakni Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag, berderet di panel kiri. Panel kanan menampilkan ratu-ratu Belanda.

Dari sisi arsitektur, gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan adonan bligor, atau ada juga yang menyebutnya pese, yakni istilah lokal untuk menyebut campuran pasir, kapur, dan batu bata merah.

Kelebihan bligor dibanding semen adalah bangunan jadi tak mudah retak, tak heran jika tak ditemukan retakan di Lawang Sewu. Bligor juga lebih awet dan menyerap air, sehingga ruang dalamnya sejuk.

Konstruksinya juga tanpa besi. Atapnya dibuat berbentuk melengkung setengah lingkaran tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap dari bata yang disusun miring layaknya struktur jembatan. 
Gedung yang paling akhir dibangun tahun 1916, kali ini menggunakan besi dan material lokal. Bata, genting, kaca, hingga ubin, semua buatan Semarang dan sekitarnya. 

Alasannya, saat itu di Eropa sedang Perang Dunia I. Pengiriman barang dari Belanda lambat, sehingga barang-barang lokal pun jadi prioritas. 
DENAH
Hasil gambar untuk lawang sewu          Hasil gambar untuk denah lawang sewu

Hasil gambar untuk denah lawang sewu

Hasil gambar untuk denah lawang sewu            Hasil gambar untuk denah lawang sewu



DAFTAR PUSTAKA:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar