TIPOLOGI
BANGUNAN
Arsitektur
Kolonial
NABIILAH
DHIYA U.
2TB02
24317331
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
ARSITEKTUR KOLONIAL
Arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia dibangun
di seluruh Nusantara yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar bangunan era
kolonial yang lebih baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatera, yang
secara ekonomi dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda.
Akibatnya, lebih banyak bangunan kolonial yang bertahan masih terdapat di kedua
pulau tersebut. Banyak benteng dan gudang era VOC lama tersebar di seluruh
Nusantara, terutama di sekitar Kepulauan Maluku dan Sulawesi.
Arsitektur awal
Setibanya
di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari pengetahuan dan
keahlian dari negara asal. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir
secara eksklusif digunakan di Hindia, kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan
istana utama. Selama periode awal kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama
diperintah oleh VOC,
yang terutama memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan
sebagai ekshibisi bergengsi.
Salah
satu permukiman Belanda besar yang
pertama adalah Batavia (Jakarta
saat ini), yang pada abad ke-17 dan ke-18 adalah kota batu bata dan pertukangan
batu berbenteng yang dibangun di atas dataran rendah.
Permukiman
Belanda pada abad ke-17 umumnya intra-muros, dengan pertahanan
bertembok untuk melindungi mereka dari serangan oleh rival perdagangan Eropa
lainnya dan pemberontakan penduduk pribumi. Benteng itu merupakan pangkalan
militer dan pusat perdagangan dan pemerintahan.
Kota
ini ditata ke dalam sebuah kisi-kisi dengan blok-blok yang dibagi oleh
kanal-kanal, lengkap dengan sebuah Balai Kota dan
Gereja-gereja, seperti setiap kota Belanda lainnya pada saat itu. Rumah-rumah
di Batavia digambarkan "cukup tinggi dengan fasad sempit
dan dinding berplester disisipi dengan jendela sengkang yang dilengkapi anyaman
rotan untuk ventilasi". Dan seperti di Belanda, mereka sebagian besar
merupakan rumah bertingkat dengan halaman kecil.
Selama
hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa
mereka dengan iklim tropis. Di Batavia, misalnya, mereka
membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh rumah baris berjendela kecil dan
berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran Tionghoa-Belanda.
Kanal-kanal
tersebut menjadi tempat pembuangan untuk limbah berbahaya dan kotoran dan
tempat berkembang biak yang ideal untuk nyamuk anopheles, dengan malaria dan [disentri]]
menyebar ke seluruh ibu kota kolonial Hindia Belanda. Dan pada paruh kedua
abad ke-17, penduduk di dalam Batavia bertembok mulai membangun properti dan
vila luar kota yang besar sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang
bertahan adalah bekas
rumah besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa
yang kaku.
KARAKTERISTIK ARSITEKTUR
Pembangunan Lawang Sewu oleh Hindia Belanda
berlangsung sepanjang 1904-1907 untuk Het hoofdkantor van de
Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Administrasi Kereta Api
- NIS). NIS menunjuk Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari
Amsterdam sebagai arsiteknya.
Pembangunannya dilakukan dalam empat tahap. Satu tahap satu
gedung. Gedung yang pertama dibangun adalah bagian belakang, pada 1904, sebagai
tempat percetakan tiket kereta api. Gedung berikutnya adalah gedung utama, gedung
dengan kaca patri indah, pada 1905-1907, yang jadi ruang direksi PT Kereta Api.
Kompleks bangunan ini
dikenal masyarakat dengan sebutan “Lawang Sewu” atau pintu seribu karena jumlah
pintu dan jendelanya banyak, sehingga disebut “sewu” (seribu, bahasa Jawa untuk
menyebut sesuatu yang banyak sekali). Sedangkan jumlah persisnya 928 pintu dan
jendela.
Banyaknya jumlah pintu dan jendela
tak lepas dari iklim Indonesia yang tropis, agar sirkulasi udara lancar. Gedung
ini juga punya koneksi antarruang dengan pertimbangan keamanan.
Bangunan
utama Lawang Sewu terdiri atas tiga lantai yang memiliki dua sayap membentang
ke bagian kanan dan kiri. Saat memasuki bangunan utama, kita akan menemukan
tangga besar menuju lantai dua. Diantara tangga terdapat kaca besar yang
menggambarkan dua wanita muda Belanda. Pada bangunan ini terlihat jelas bahwa
struktur bangunan, pintu dan jendela menggunakan gaya arsitektur Belanda.
Arsitektur
Lawang Sewu disesuaikan dengan kondisi cuaca di Indonesia yang selalu disinari
matahari. Agar lantai selalu dingin, dibuatlah lorong bawah tanah yang
digenangi air dan dilengkapi dengan lorong-lorong yang berfungsi sebagai
ventilasi pada setiap ruangan di atasnya. Desain atap dan langit-langit dibuat
dengan perencanaan yang baik supaya dapat menyirkulasi udara panas keluar
melalui ventilasi.
Lawang Sewu juga memiliki ruang
bawah tanah yang digunakan sebagai penjara pada zaman penjajahan Jepang.
Penjaranya sendiri terdiri dari dua macam, yaitu penjara duduk dan penjara
berdiri. Penjara duduk memiliki tinggi hanya 1 meter. Sedangkan penjara berdiri
sangat sempit dan hanya bisa diisi oleh satu orang saja.
Pada awal 2012 bangunan utama
Lawang Sewu sudah selesai direnovasi dan bangunan di belakangnya kini dijadikan
museum kecil untuk menceritakan sejarah NIS.
Satu lokasi favorit
berfoto saat ke Lawang Sewu adalah dinding kaca patri berukuran tinggi lebih
dari 2 meter.
Kaca yang
terbagi menjadi empat panel besar ini mencerminkan cerita eksploitasi
besar-besaran hasil alam Nusantara. Flora dan fauna kita diangkut kereta dan
dikumpulkan di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa sebelum diperdagangkan di dunia,
untuk memperkaya Belanda dan keluarga kerajaannya di bawah perlindungan Dewi
Fortuna.
Detailnya seperti berikut: Di panel tengah-bawah berjajar Dewi Fortuna, si dewi keberuntungan yang berbaju merah, roda bersayap lambang kereta api, dan Dewi Sri, dewi kemakmuran Suku Jawa. Panel di atasnya adalah tumbuhan dan hewan yang menggambarkan Nusantara sebagai negeri kaya akan hasil bumi berikut simbol kota-kota dagang Batavia, Surabaya, dan Semarang.
Simbol kota-kota dagang Belanda, yakni Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag, berderet di panel kiri. Panel kanan menampilkan ratu-ratu Belanda.
Dari sisi arsitektur, gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan adonan bligor, atau ada juga yang menyebutnya pese, yakni istilah lokal untuk menyebut campuran pasir, kapur, dan batu bata merah.
Kelebihan bligor dibanding semen adalah bangunan jadi tak mudah retak, tak heran jika tak ditemukan retakan di Lawang Sewu. Bligor juga lebih awet dan menyerap air, sehingga ruang dalamnya sejuk.
Konstruksinya juga tanpa besi. Atapnya dibuat berbentuk melengkung setengah lingkaran tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap dari bata yang disusun miring layaknya struktur jembatan.
Detailnya seperti berikut: Di panel tengah-bawah berjajar Dewi Fortuna, si dewi keberuntungan yang berbaju merah, roda bersayap lambang kereta api, dan Dewi Sri, dewi kemakmuran Suku Jawa. Panel di atasnya adalah tumbuhan dan hewan yang menggambarkan Nusantara sebagai negeri kaya akan hasil bumi berikut simbol kota-kota dagang Batavia, Surabaya, dan Semarang.
Simbol kota-kota dagang Belanda, yakni Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag, berderet di panel kiri. Panel kanan menampilkan ratu-ratu Belanda.
Dari sisi arsitektur, gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan adonan bligor, atau ada juga yang menyebutnya pese, yakni istilah lokal untuk menyebut campuran pasir, kapur, dan batu bata merah.
Kelebihan bligor dibanding semen adalah bangunan jadi tak mudah retak, tak heran jika tak ditemukan retakan di Lawang Sewu. Bligor juga lebih awet dan menyerap air, sehingga ruang dalamnya sejuk.
Konstruksinya juga tanpa besi. Atapnya dibuat berbentuk melengkung setengah lingkaran tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap dari bata yang disusun miring layaknya struktur jembatan.
Gedung yang paling akhir dibangun tahun 1916, kali ini
menggunakan besi dan material lokal. Bata, genting, kaca, hingga ubin, semua
buatan Semarang dan sekitarnya.
Alasannya, saat itu di Eropa sedang Perang Dunia I.
Pengiriman barang dari Belanda lambat, sehingga barang-barang lokal pun jadi
prioritas.
DENAH
DAFTAR PUSTAKA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar